Nyepol | Pojok Bang Djosan


NYEPOL 
Oleh: Sjafrudin Djosan

Dalam konteks berlebaran silaturahmi dan nyekar adalah menjadi hal yang lazim. Silaturahmi ke sesama untuk saling bertatap muka dan nyekar (ziarah) ke kerabat yang telah tiada, sekadar untuk mendoa atau tabur bunga.

Pesohor kita tak kalah siap melakukan dua hal itu, seperti yang dilakukan oleh Menhan Prabowo Subianto dalam safari lebarannya. Tak syak, orang pun lalu menanggapi apa yang lakukannya adalah bentuk dari penjajakan dini untuk meraih simpati khalayak. Tak ada yang salah dan sah-sah saja, karena memang musim Pemilu sebentar lagi bakal digelar. Beberapa tokoh lain juga mulai saling mengunjungi untuk sekadar berbalas pantun. Ya, pantun politik tentunya. 

Menyambangi tokoh-tokoh kunci adalah menjadi kesunyataan, termasuk alim-ulama yang memiliki pengaruh. Begitulah format Indonesia kita dua dasawarsa ini, yang oleh budayawan Emha Ainun Nadjib, Indonesia itu sudah bukan lagi Indonesia. Kita telah kehilangan jati diri: martabat, muru’ah, atawa dignity --- seperti dapat disaksikan dalam Pengajian Kyai Kanjeng di banyak kanal You-Tube yang menampilkan ‘kegeraman’ Cak atau Mbah Nun. Kita pun boleh bersepakat dengan Emha bahwa untuk menyelesaikan dan mengembalikan Indonesia pada maqam kesejatiannya adalah dibutuhkannya seorang pemimpin baru yang memahami benar-benar Indonesia dengan segala pernak-perniknya secara baik dan pas, bukan pemimpin yang terjebak dalam siklus tema transaksional dan balas budi. 

Menarik menyigi pada apa yang dilakukan oleh Menhan Prabowo yang nyekar ke makam Hadratusy-Syaikh Hasjim Asj’arie dan cucunya, Gus Dur. Ini bukan sekadar nyekar, tapi boleh diimbuhi frasa lain sehingga bersebutan: nyekar politik (nyepol). Memilih dua tokoh Allahu Yarham ini tentu dengan perhitungan, mengingat konon jumlah konstituen kalangan nahdliyin adalah mayoritas di Indonesia, secara struktural maupun kultural. Bahkan ada yang menyebut kini ‘sedang menguasai’ Indonesia.  

Hanya saja, mestinya Pak Prabowo tak terhenti sekadar nyepol ke sana dan singgah di Ponpes-ponpes. Bahwa ada tokoh lain yang juga memiliki daya pikat politik dalam basis massa yang besar dan militan. Sejatinya ia juga singgah ke Blitar menziarahi makam Bung Karno. Ini orang besar yang pengaruhnya gak abis-abis, dengan jumlah pendukung tradisionalnya “cukup mengajukan nama Capres secara sendirian” lewat partai yang dipimpinan anaknya. 

Saya pun lalu berfikir, sebetulnya apa yang dilakukan dengan menelusuri tempat-tempat   atau kediaman para tokoh bangsa baik yang masih ada maupun tiada itu, bagus juga. Sebagai sebuah bentuk kesadaran kebangsaan, dengan melihat rekam jejak kejuangan yang telah mereka lakukan demi bangsa semasa hidupnya.

Maka jauh lebih baik lagi, jika nyekar dianggap sebagai pilihan manis untuk meraup simpati khalayak, adalah juga berziarah ke makam HOS Tjokroaminoto di Kuncen, Yogyakarta. Tokoh ini, siapa pun tahu, adalah peletak dasar utama dalam konteks hidup berbangsa di negeri ini. Bahkan dari buah pikiran beliaulah bagaimana sebuah bangsa dan negara itu terbentuk, jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Dalam literatur standar kita, HOS Tjokroaminoto telah meletakkan semacam tahapan-tahapan bagaimana menjadi “Bangsa  Indonesia” yang sejatinya. Oleh Garin kemudian diabadikan sebagai Guru Bangsa. 

Ada lagi yang tak kalah penting, Haji A. Salim (begitu ia bisa menuliskan namanya). Seorang tokoh yang ikut meletakkan pijakan berkehidupan berbangsa bernegara, tokoh yang pada zamannya biasanya disebut sebagai Dwitunggal: Tjokro-Salim. Ini yang terabaikan.

Pada periode lanjutannya, dan masih sezaman, ada nama tokoh yang hidup amat sederhana dengan pikiran yang amat cerdas, Mohammad Natsir, yang kita boleh berkesimpulan beliaulah yang secara langsung atau tak langsung kemudian ‘menerjemah’ apa yang digagas HOS Tjokroaminoto sebelumnya.  Melalui gagasannya yang masyhur, Mosi Integral Natsir, maka NKRI itu lalu dijadikan harga mati oleh kita-kita. Banyak di antara kita menjadikan Indonesia di dalam wilayah kesatuannya sebagai harga mati, tetapi sayang sebagian kita melupakan tokoh yang mencetuskannya. 

Masih banyak tokoh dan ulama lain juga kalangan tokoh nonmuslim yang rasanya tak salah jika disambangi, menyambung kasih-sayang mumpung masih jauh dari mase hari eleksion, kata orang Malaysia. Dan, bukan cuma Menhan Prabowo tentunya. Yang lain yang minat jadi orang nomor satu republik ini, boleh lakukan. 

Mau ke manakah Indonesia di hari depan, bagus juga ‘temui’ tokoh netral yang tidak memiliki pretensi terhadap kekuasaan, untuk mendengar langsung celotehan, ungkapan kejengkelan, dan rasa gusarnya yang amat-sangat terhadap nasib bangsa ini tetapi tetap mendoakan untuk kebaikannya: Emha Ainun Nadjib. 

edisi#silaturahimlebaran#maaflahir batin

Kategori: Siyasah
Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PB Pemuda Muslimin Indonesia

Posting Komentar

Copyright © PB Pemuda Muslimin Indonesia . Template Designed by OddThemes